Mar 28, 2010

Kedewasaan dan Perilaku Masyarakat Jakarta dalam Berlalu Lintas

Jakarta - Hrand Saxenian, seorang profesor dari Harvard Business School, mendefininiskan kedewasaan sebagai "keseimbangan antara keberanian dengan pertimbangan."
Teori ini dikembangkan oleh Stephen R Covey ketika mengulas bagaimana untuk mendapatkan "win-win" dalam hubungan interpersonal di dalam bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People. Setelah membaca bagian buku tersebut, saya dapat merasakan hubungan antara teori tersebut dengan perilaku masyarakat Jakarta dalam berkendara di belantara lalu lintas.

Kedewasaan dalam berlalu lintas dicerminkan oleh keberanian untuk berkendara, tidak
ragu-ragu, dan merasa yakin dengan apa yang dilakukan saat berkendara. Akan tetapi keberanian tersebut juga seharusnya diimbangi oleh kesadaran bahwa lalu lintas adalah sebuah ruang publik.

Seyogyanya pengguna lalu lintas dewasa juga mempertimbangkan kepentingan orang lain dan menjalani peraturan lalu lintas sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal ini akan menciptakan situasi 'win-win', karena si pengendara dapat sampai ke tujuan bukan hanya dengan selamat tetapi juga dengan tenang karena tidak mengusik kepentingan orang lain. Dan, orang lain juga dapat sampai di tempat tujuan mereka dengan selamat dan senang.

Keberanian yang tinggi dengan pertimbangan yang rendah akan menciptakan kemenangan bagi pengendara tetapi kekalahan bagi orang lain. Berani melawan arah, berani melanggar rambu lalu lintas, berani memotong jalan kendaraan lain (adu cepat memasukkan hidung kendaraan), berani untuk membelokkan kendaraan tanpa menyalakan lampu isyarat, berani menjalankan kendaraan di atas batas kecepatan dan masih banyak contoh lainnya.

Betul, si pengendara akan cepat sampai di tujuan mereka. Akan tetapi perilaku tersebut sudah mengorbankan orang lain. Bahkan mungkin mencelakakan orang lain. Situasi yang tercipta adalah 'win-lose', karena si pengendara tersebut menang. Dapat sampai ke tujuan dengan cepat tetapi di atas penderitaan orang lain.

Mungkin si 'korban' hanya dapat bersumpah serapah terhadap kelakukan si pengendara tersebut. Kalau setiap hari si pengendara melakukan ini bagaimana rasanya hidup dalam sumpah serapah orang lain?

Pertimbangan yang tinggi tetapi dengan keberanian yang rendah juga tidak memberikan hasil yang efektif. Misalnya, si pengendara ada di persimpangan jalan yang tidak diatur oleh lampu lalu lintas. Berdasarkan perhitungan kecepatan seharusnya dia bisa melintasi persimpangan tersebut. Tetapi, tidak dilakukan karena takut akan membuat kendaraan yang melintasi harus mengurangi kecepatan. Akibatnya, kendaraan yang di belakangnya juga tidak bisa melaju. Ikut tertahan akibat ketidakberanian si pengendara tersebut.

Satu, dua, tiga kendaraan menumpuk di belakangnya, dan pada akhirnya mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Atau seorang pengendara sepeda motor, yang berhenti di lampu merah di desak oleh kendaraan lain yang tidak sabar. Karena dia tidak ingin melanggar lampu merah, tetapi juga tidak berani untuk tetap berhenti di lajurnya dengan tenang menunggu giliran lampu hijau. Akhirnya memipirkan sepeda motornya, memberikan jalan kepada orang lain dengan gerutu di dalam hati.

Si pengendara ini kalah. Orang lain yang menang sehingga situasinya menjadi 'lose-win'. Atau ekstremnya, seorang pengendara berjalan dengan kecepatan sangat rendah, dan meminggirkan kendaraan setiap ada yang mau menyalip kendaraannya. Terus kapan mau sampai di tujuan?

Yang terakhir, adalah ketika baik keberanian maupun pertimbangan kedua-duanya rendah. Yang akan diciptakan oleh situasi ini adalah mental ikut-ikutan. Bahkan, ketika yang dilakukan adalah sesuatu yang salah.

Contohnya, si pengendara mengetahui bahwa lampu merah adalah tanda untuk berhenti, sehingga dia berhenti. Akan tetapi, karena kendaraan di depannya memutuskan untuk jalan terus, si pengendara memutuskan untuk mengikuti kendaraan tersebut dan melanggar lampu merah.

Apalagi karena di belakangnya kendaraan lain juga memberi klakson meminta jalan. Si pengendara tidak berani untuk membuat sebuah pendirian yang diketahuinya, dan kemudian memutuskan untuk mengganggu kepentingan orang lain (mungkin pejalan kaki yang menyeberangi jalan).

Buat saya, ini adalah kelompok yang sangat berbahaya dan harus banyak diberikan perhatian. Sangat banyak pelaku pidana yang mengaku melakukan tindak pidana tersebut karena sekedar ikut-ikutan teman atau takut untuk dibilang tidak setia kawan.

Pada akhirnya, si pelaku terpaksa harus menjalani hukuman atas sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kata hatinya, dan turut menjadi korban atas perbuatannya. Situasi menjadi 'lose-lose'. Artinya semua pihak menjadi kalah. Orang lain dan diri sendiri yang kemudian menjadi korban.

Batas minimal umur untuk dapat memiliki SIM (UU No 22/2009) adalah 17 tahun. Dasar pemikirannya adalah, seseorang seharusnya sudah memiliki kedewasaan yang cukup untuk dapat mengendalikan kendaraannya. Atau berdasarkan definisi kedewasaan di atas orang tersebut dianggap sudah memiliki keseimbangan antara keberanian dengan pertimbangannya.

Akan tetapi berdasarkan situasi lalu lintas Jakarta sekarang benarkah ada korelasi antara usia seseorang dengan kedewasaan dalam berlalu lintas. -ijas-

Imam Jehan Akbarsyah
Jakarta
akbarsyah@gmail.com

0 comments:

Powered by Blogger.

Followers

About Me